Fiqh Imam Syafi'i Bab Haid
Fiqh Imam Syafi'i
Bab Haid
Haid adalah darah yang bisa terjadi pada perempuan yang keluar dari pangkal rahim dalam keadaan sehat dan diwaktu yang tertentu. Paling cepat perempuan mengeluarkan darah haid pada usia 9 tahun.
Imam Syafi’i berkata : “Wanita yang paling cepat mengeluarkan darah haid adalah wanita-wanita Tihamah (negeri Mekah). Mereka mulai mengeluarkan darah haid pada usia 9 tahun. Tetapi umumnya para wanita mulai mengeluarkan darah haid pada saat usia 12 tahun 8 bulan dan terkadang haid pertama terjadi setelah 2 tahun dimulainya pertumbuhan payudara dan keluarnya bulu disekitar kemaluannya, pertumbuhan badannya cepat dan masih banyak tanda pubertas lainnya.
Dalam hal ini ada 5 macam darah yaitu:
1) Hitam, adalah darah yang lebih kuat dan sangat amis.
2) Merah, adalah darah yang kuat dan tidak berbau.
3) Merah ke kuning-kuningan, adalah darah yang lemah.
4) Kuning, adalah darah yang lebih lemah.
5) Keruh, adalah warna yang paling lemah.
1. Paling sedikit perempuan haid 1 hari beserta malamnya (24 am) dan paling lama 15 hari beserta malamnya. Dan kebanyakan perempuan haid 6 atau 7 hari beserta malamnya. Bagi perempuan yang haid dari keseluruhan (6, 7 atau 15 hari) jika dijumlah semua ada 24 jam, maka itu darah haid, jika kurang dari 24 jam maka dinamakan mustahadoh (darah penyakit).
Adapun jika lebih dari 24 jam sampai 15 hari beserta malamnya, maka itu dinamakan darah haid, dan jika lebih dari 15 hari maka dinamakan mustahadoh (darah penyakit). Jika perempuan keluar darah hitam pekat atau merah dan kuning tapi tidak keruh dan diwaktu biasa dia haid, maka darah itu dinamakan darah haid.
Terkadang perempuan haid diwaktu yang tidak bisa dipastikan, maka dihitung dari awal keluarnya darah itu, jika sampai 24 jam atau lebih (kurang dari 15 hari beserta malamnya), maka darah itu dinamakan haid dan jika setelah suci dia mengeluarkan darah lagi, maka dilihat dulu dari kapan dia haid yang terakhir, jika berjalan 15 hari dari haid yang terakhir maka darah yang kedua dinamakan haid, kalau kurang dari 15 hari (aqolultuhri) maka darah itu penyakit.
Anjuran bagi wanita yang sedang haid maka sebaiknya dicatat dengan menggunakan kalender, agar tahu mana waktu haid dan lain-lainnya
2.
a. Nifas, nifas adalah darah yang keluar dari farji wanita setelah melahirkan.
b. Paling sedikitnya perempuan mengeluarkan darah nifas yaitu 1 tetes, dan paling lamanya 60 hari, kebanyakan perempuan mengeluarkan darah nifas 40 hari.
c. Sebelum mengeluarkan darah nifas, biasanya setelah keluarnya janin maka akan keluar darah sedikit, darah itu dinamakan tolq lalu baru mengeluarkan darah nifas.
d. Warna darah nifas hanya merah.
Perempuan yang mengeluarkan darah nifas melebihi 60 hari, maka darah itu dinamakan mustahadoh dengan syarat berkelanjutan (tidak terputus), apabila terputus walaupun sebentar, maka darah yang kedua dinamakan darah haid.
3.
a. Suci (tuhri), suci bagi perempuan adalah masa tidak mengeluarkan darah haid atau nifas.
b. Paling sedikitnya perempuan suci antara 2 haid adalah 15 hari dan kebanyakan perempuan suci 23 hari atau 24 hari dan tidak ada batas suci bagi perempuan (karena ada perempuan yang tidak mengeluarkan darah haid).
c. Perempuan tidak mengeluarkan darah haid, maka dia sehat (bukan penyakit seperti yang diyakini kebanyakan orang). Karena anak yang paling dicintai Rasulullah saw. yang bernama Sayyidatuna Fatimah Az-Zahra, beliau tidak pernah mengeluarkan darah haid, maka beliau diberi julukan oleh Rasulullah saw. dengan sebutan Al Batul (yang tidak pernah putus dalam beribadah).
4. Mutahadoh adalah darah penyakit yang keluar dilain waktu haid, bagi wanita yang mustahadoh, maka setiap sholat 5 waktu harus membersihkan kemaluannya kemudian dibalut dan langsung sholat (tidak boleh menunggu lama) dan diperbolehkan membaca Al Qur’an setelah sholat dan juga diperbolehkan berjima’ sebelum berjima’ harus dilihat dulu, klo ada darah di farjinya (memasukkan kapas di farjinya), maka dibersihkan dengan air lalu baru boleh berjima’.
5. Sesuatu yang keluar dari farji perempuan yang diwajibkan mandi setelah bersih adalah air mani, darah haid, janin (walau segumpal darah) dan darah nifas selain itu semua tidak diwajibkan mandi. Seperti darah penyakit (mustahadoh), keputihan, madhi dan wadhi.
a. Madhi adalah air yang keluar dipuncak syahwat sebelum air mani dan warnya putih, bening tetapi tidak bau.
b. Wadhi adalah air yang keluar ketika membawa barang yang berat, berwarna putih keruh.
c. Semua yang keluar dari farji perempuan hukumnya najis, seperti darah haid, nifas, mustahadoh, keputihan, madhi dan wadhi, dll. Adapun air mani hukumnya suci.
d. Perempuan yang haid dan nifas, diharamkan melakukan 10 macam, yaitu:
1) Sholat wajib dan sunnah (sujud syahwi, sujud tilawah)
2) Thowaf wajib / sunnah.
3) Memegang Al Qur’an.
4) Membawa Al Qur’an.
5) Berhenti di masjid, selain masjid boleh seperti kuburan.
6) Membaca Al Qur’an (jika hanya membaca wirid / sesuatu yang dilanggengkan maka boleh jika dengan niat itu).
7) Berpuasa.
8) Thalak (bagi suami yang menalak istrinya diwaktu haid, maka tidak sah).
9) Berjalan di masjid dari pintu ke satu ke pintu yang lain, jika takut keluar darahnya dan mengotori masjid, mushola dan langgar sama dengan masjid.
10) Bersetubuh antara pusar dan lutut, artinya memasukkan dzakarnya ke farji tatkala haid atau nifas, karena itu sangat dilaknat oleh Allah SWT dan rasul-Nya. Dan menyebabkan belang pada kulit si anak, jika menjadi anak (ingat-ingat dan hati-hati).
6. Masa perempuan hamil paling cepatnya 6 bulan dan kebanyakan perempuan hamil 9 bulan dan paling lama perempuan hamil 4 tahun (janin yang makin lama di kandungan, maka akan semakin pintar, seperti Imam Syafi’i beliau dikandung ibunya selama 4 tahun).
Disunahkan wanita yang sedang hamil untuk memperbanyak baca Al Qur’an, istighfar, sholawat dan bacaan-bacaan yang bagus, karena janin yang berumur di atas 4 bulan dia akan mendengarkan percakapan yang bisa dia dengar melalui ibu yang mengandungnya, kemudian setelah lahir disunnahkan mengadzani (beradzan) di telinga kanan lalu mengomati (beriqomat) di telinga kiri dan juga membaca surat Alamnasroh (Asyaroh) 3x di telinga kanan dengan niatan agar mendapat kemudahan dalam semua urusannya dan membaca surat Al Zalzalah 3x di telinga kiri dengan niatan anak tersebut dijauhkan dari kegoncangan dari semua hal dan membaca Al Ikhlas 3x di telinga kanan dengan niatan agar si anak mendapatkan ketauhidan dari Allah dan dijadikan anak yang selalu ikhlas dalam beramal lalu mu’awidatain (Al Falaq dan An Nas) 1x di telinga kiri dengan niatan agar si anak dijauhkan dari semua kejahatan sihir dan lain-lain.
PENGERTIAN HAID, NIFAS, DAN ISTIHADHAH
Pembahasan soal darah pada wanita yaitu haid, nifas, dan istihadhah adalah pembahasan yang paling sering dipertanyakan oleh kaum wanita.
Dan pembahasan ini juga merupakan salah satu bahasan yang tersulit dalam
masalah fiqih, sehingga banyak yang keliru dalam memahaminya. Bahkan
meski pembahasannya telah berulang-ulang kali disampaikan, masih banyak wanita Muslimah yang belum memahami kaidah dan perbedaan dari ketiga darah ini. Mungkin ini dikarenakan darah tersebut keluar dari jalur yang
sama namun pada setiap wanita tentulah keadaannya tidak selalu sama, dan
berbeda pula hukum dan penanganannya.
HAID
Haidh atau haid (dalam ejaan bahasa Indonesia) adalah darah yang keluar
dari rahim seorang wanita pada waktu-waktu tertentu yang bukan karena
disebabkan oleh suatu penyakit atau karena adanya proses persalinan,
dimana keluarnya darah itu merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan
oleh Allah kepada seorang wanita. Sifat darah ini berwarna merah kehitaman yang kental, keluar dalam jangka waktu tertentu, bersifat panas, dan memiliki bau yang khas atau tidak sedap.
Haid adalah sesuatu yang normal terjadi pada seorang wanita, dan pada setiap wanita kebiasaannya pun berbeda-beda. Ada yang ketika keluar haid ini disertai dengan rasa sakit pada bagian pinggul, namun ada yang tidak merasakan sakit. Ada yang lama haidnya 3 hari, ada pula yang lebih dari 10 hari.
Ada yang ketika keluar didahului dengan lendir kuning kecoklatan, ada pula yang langsung berupa darah merah yang kental. Dan pada setiap kondisi inilah yang harus dikenali oleh setiap wanita, karena dengan mengenali masa dan karakteristik darah haid inilah akar dimana seorang wanita dapat membedakannya dengan darah-darah lain yang keluar kemudian.
Wanita yang haid tidak dibolehkan untuk shalat, puasa, thawaf, menyentuh
mushaf, dan berhubungan intim dengan suami pada kemaluannya. Namun ia
diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung
(boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti
komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ
يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
“Mereka bertanya kepadamu tentang (darah) haid. Katakanlah, “Dia itu
adalah suatu kotoran (najis)”. Oleh sebab itu hendaklah kalian menjauhkan diri dari wanita di tempat haidnya (kemaluan). Dan janganlah kalian mendekati mereka, sebelum mereka suci (dari haid). Apabila mereka telah bersuci (mandi bersih), maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepada kalian.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
“Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” (HR. Al-Bukhari No. 321 dan Muslim No. 335)
Batasan Haid :
Menurut Ulama Syafi’iyyah batas minimal masa haid adalah sehari
semalam, dan batas maksimalnya adalah 15 hari. Jika lebih dari 15
hari maka darah itu darah Istihadhah dan wajib bagi wanita tersebut
untuk mandi dan shalat.
Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan
bahwa tidak ada batasan yang pasti mengenai minimal dan maksimal
masa haid itu. Dan pendapat inilah yang paling kuat dan paling masuk
akal, dan disepakati oleh sebagian besar ulama, termasuk juga Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengambil pendapat ini. Dalil
tidak adanya batasan minimal dan maksimal masa haid :
Firman Allah Ta’ala.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ
يَطْهُرْنَ
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah : “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekatkan mereka, sebelum mereka suci…” [QS. Al-Baqarah : 222]
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan petunjuk tentang masa haid
itu berakhir setelah suci, yakni setelah kering dan terhentinya darah tersebut. Bukan tergantung pada jumlah hari tertentu. Sehingga yang dijadikan dasar hukum atau patokannya adalah keberadaan darah haid itu sendiri. Jika ada darah dan sifatnya dalah darah haid, maka berlaku hukum haid.
Namun jika tidak dijumpai darah, atau sifatnya bukanlah darah haid, maka tidak berlaku hukum haid padanya. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menambahkan bahwa sekiranya memang ada batasan hari
tertentu dalam masa haid, tentulah ada nash syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskan tentang hal ini.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan : “Pada
prinsipnya, setiap darah yang keluar dari rahim adalah haid. Kecuali jika ada bukti yang menunjukkan bahwa darah itu istihadhah.”
Berhentinya haid :
Indikator selesainya masa haid adalah dengan adanya gumpalan atau lendir
putih (seperti keputihan) yang keluar dari jalan rahim. Namun, bila tidak menjumpai adanya lendir putih ini, maka bisa dengan mengeceknya menggunakan kapas putih yang dimasukkan ke dalam vagina. Jika kapas itu tidak terdapat bercak sedikit pun, dan benar-benar bersih, maka wajib
mandi dan shalat.
Sebagaimana disebutkan bahwa dahulu para wanita mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan menunjukkan kapas yang terdapat cairan kuning, dan kemudian Aisyah mengatakan :
لاَ تَعْجَلْنَ حَتَّى تَرَيْنَ القَصَّةَ البَيْضَاءَ
“Janganlah kalian terburu-buru sampai kalian melihat gumpalan putih.”
(Atsar ini terdapat dalam Shahih Bukhari).
NIFAS
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim wanita setelah seorang wanita melahirkan. Darah ini tentu saja paling mudah untuk dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu karena adanya proses persalinan.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa darah nifas itu adalah
darah yang keluar karena persalinan, baik itu bersamaan dengan proses persalinan ataupun sebelum dan sesudah persalinan tersebut yang umumnya disertai rasa sakit. Pendapat ini senada dengan pendapat Imam Ibnu Taimiyah yang mengemukakan bahwa darah yang keluar dengan rasa sakit dan disertai oleh proses persalinan adalah darah nifas, sedangkan bila tidak ada proses persalinan, maka itu bukan nifas.
Batasan nifas :
Tidak ada batas minimal masa nifas, jika kurang dari 40 hari darah tersebut berhenti maka seorang wanita wajib mandi dan bersuci, kemudian shalat dan dihalalkan atasnya apa-apa yang dihalalkan bagi wanita yang suci. Adapun batasan maksimalnya, para ulama berbeda pendapat tentangnya.
Ulama Syafi’iyyah mayoritas berpendapat bahwa umumnya masa nifas
adalah 40 hari sesuai dengan kebiasaan wanita pada umumnya, namun
batas maksimalnya adalah 60 hari.
Mayoritas Sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Abbas, Aisyah, Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhum dan para Ulama
seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, At-Tirmizi, Ibnu
Taimiyah rahimahumullah bersepakat bahwa batas maksimal keluarnya
darah nifas adalah 40 hari, berdasarkan hadits Ummu Salamah dia
berkata, “Para wanita yang nifas di zaman Rasulullah -shallallahu
alaihi wasallam-, mereka duduk (tidak shalat) setelah nifas mereka
selama 40 hari atau 40 malam.” (HR. Abu Daud no. 307, At-Tirmizi
no. 139 dan Ibnu Majah no. 648). Hadits ini diperselisihkan derajat
kehasanannya. Namun, Syaikh Albani rahimahullah menilai hadits
ini Hasan Shahih. Wallahu a’lam.
Ada beberapa ulama yang berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal
masa nifas, bahkan jika lebih dari 50 atau 60 hari pun masih
dihukumi nifas. Namun, pendapat ini tidak masyhur dan tidak didasari
oleh dalil yang shahih dan jelas.
Wanita yang nifas juga tidak boleh melakukan hal-hal yang dilakukan oleh
wanita haid, yaitu tidak boleh shalat, puasa, thawaf, menyentuh mushaf,dan berhubungan intim dengan suaminya pada kemaluannya. Namun ia juga diperbolehkan membaca Al-Qur’an dengan tanpa menyentuh mushaf langsung (boleh dengan pembatas atau dengan menggunakan media elektronik seperti
komputer, ponsel, ipad, dll), berdzikir, dan boleh melayani atau bermesraan dengan suaminya kecuali pada kemaluannya.
Tidak banyak catatan yang membahas perbedaan sifat darah nifas dengan darah haid. Namun, berdasarkan pengalaman dan pengakuan beberapa responden, umumnya darah nifas ini lebih banyak dan lebih deras keluarnya daripada darah haid, warnanya tidak terlalu hitam, kekentalan
hampir sama dengan darah haid, namun baunya lebih kuat daripada darah haid.
ISTIHADHAH
Istihadhah adalah darah yang keluar di luar kebiasaan, yaitu tidak pada masa haid dan bukan pula karena melahirkan, dan umumnya darah ini keluar ketika sakit, sehingga sering disebut sebagai darah penyakit. Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim mengatakan bahwa istihadhah adalah darah yang mengalir dari kemaluan wanita yang bukan pada waktunya dan keluarnya dari urat.
Sifat darah istihadhah ini umumnya berwarna merah segar seperti darah
pada umumnya, encer, dan tidak berbau. Darah ini tidak diketahui batasannya, dan ia hanya akan berhenti setelah keadaan normal atau darahnya mengering.
Wanita yang mengalami istihadhah ini dihukumi sama seperti wanita suci,
sehingga ia tetap harus shalat, puasa, dan boleh berhubungan intim dengan suami.
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha :
جَاءَتَ فاَطِمَةُ بِنْتُ اَبِى حُبَيْشٍ اِلَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَلَتْ ياَرَسُوْلُ اللهِ
اِنِّى امْرَاَةٌ اُسْتَحَاضُ فَلاَ اَطْهُرُ، اَفَاَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ ياَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: لاَ، اِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَاِذَااَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ، فَاِذَا
ذَهَبَ قَدْرُهَا فاَغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى
Fatimah binti Abi Hubaisy telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang
wania yang mengalami istihadhah, sehingga aku tidak bisa suci. Haruskah
aku meninggalkan shalat?” Maka jawab Rasulullah SAW: “Tidak,
sesungguhnya itu (berasal dari) sebuah otot, dan bukan haid. Jadi,
apabila haid itu datang, maka tinggalkanlah shalat. Lalu apabila ukuran
waktunya telah habis, maka cucilah darah dari tubuhmu lalu shalatlah.”
Wallahu a’lam.
Sumber Maraji’ :
Fiqhus Sunnah lin Nisaa’ – Kamal bin As-Sayyid Salim
Fatawa Al-Mar’ah Muslimah
Majmu’ Fatawa Arkanil Islam – Syaikh Ibnu Utsaimin
Ahkamuth Thaharah ‘inda An-Nisaa’ ‘ala Madzhab Imam Asy-Syafi’i –
Munir bin Husain
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Menurut Pandangan imam syafi’i bahwa seorang wanita dikatakan orang haidh apalabila mengeluarkan darah memenuhi 4 syarat antara lain :
2. Darah keluar dari wanita yang usianya 9 tahun kurang 14 hari
3. Darah yang keluar minimal sehari semalam jika keluar terus menerus atau berjumlah 24 jam jika keluar terputus-putus dan masih dalam waktu 15 hari dari keluarnya darah yang pertama.
4. Tidak lebih dari 15 hari 15 malam jika keluar terus menerus
5. Keluar setelah masa minimal suci, yakni 15 hari 15 malam dari haidh sebelumnya.
Apabila tidak memenuhi persyaratan diatas maka darah tersebut dikatakan
darah istihadhah(suci).
2. Wanita yang sedangan menstruasi dilarang melakukan ibadah berupa shalat, puasa,membaca al-qur’an, menyetuh al qur’an, berdiam diri dimasjid, bersetubuh, bermesraan dengan sentuhan kulit antara pusar dan lutut dan melakukan thawaf.
3. Istihadhah adalah darah yang keluar diluar masa haidh dan nifas sedangkan hukumnya mustahadhah disamakan dengan orang suci yakni berkewajiban puasa dan shalat 5 waktu adapun tatacaranya :
1. Apabila diantara waktu shalat ada kemungkinan berhentinya darah maka wajib menantinya dan melakukan shalat pada waktu putus darah tersebut.
2. Jika ada kemungkinan putus darah diantara waktu shalat (darah keluar terus menerus maka setiap akan melakukan shalat fardhu mustahahah harus membersihan kemaluan, membalut kemaluan kemudian melakukan shalat dengan segera.
Semoga Bermanfaat
--------=============--------
Komentar
Posting Komentar